KATATIVI.COM: Fenomena alam gerhana matahari dan gerhana dalam satu bulan, terutama terjadi di bulan suci Ramadan, harus mendapat perhatian khusus bagi umat manusia. Pertanda alam ini dipahami akan ada malapetaka bagi umat manusia sekaligus dilaksanakan ritual untuk menolaknya.
Seperti diketahui, telah terjadi Gerhana Bulan Penumbra (GBP) pada 24-25 Maret 2024. Pada Senin, 8 April 2024, akan terjadi Gerhana Matahari Total (GMT). Dalam kalender Sunda atau Saka Sunda, dua gerhana ini terjadi di bulan yang sama. Begitu pun di bulan Islam, kejadian tersebut terjadi di bulan suci Ramadan 1445H.
“Kita mengikuti jejak para leluruh yang menyusun kalender Sunda. Nah, fenomena ini masuk di bulan yang sama, dan ini perlu dilakukan ritual tolak bala,” kata Pembina Bengkel Studi Budaya (Bestdaya) Miranda H. WIhardja, usai Seri Ritual Pengetahuan Cerdas Berbudaya, di Savoy Homann, Sabtu (6/4/2024).
Hadir dalam Seri Ritual Pengetahuan Cerdas Berbudaya tersebut tokoh budayawan Kang Acil Bimbo, Arsitek Sunda Roza Rahmadjasa Mintaredja, Abah Alam, Senator Jabar Eni Sumarni, dan tokoh agama K.H. Thontowi D Musaddad, Lc. M.A atau dikenal Kiyai Bendo.
Ritual tolak bala tersebut, kata Miranda, dengan melakukan refleksi kepada diri sendiri. Selain itu, dihadirkan simbol-simbol budaya seperti bubur merah dan putih, buah delima, beubeutian sebagai bentuk tanah air.
“Menurut kalender Sunda yang disusun oleh leluruh Sunda, gerhana bulan atau matahari akan mengakibatkan banyak penyakit dan orang mati. Inilah ritual tolak bala ini agar kita selamat,” katanya.
Sementara itu, tokoh agama dan budayawan K.H. Thontowi D Musaddad, Lc. M.A, fenomena gerhana ini harus disikapi dengan cerdas. Tokoh agama yang akrab disebut kiyai Bendo ini, mengajak umat manusia semakin mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta.
“Ini sebuah isyarat, bagi kita untuk lebih mendekat diri kepada Allah, agar tidak musibah yang lebih besar,” kata
Kiyai Bendo mengatakan, di dalam Islam ada ritual solat gerhana. Solat ini bentuk mengagungkan Allah, sekaligus penghambaan diri bahwa untuk mendekatkan diri kepadaNya.
“Sebagai pertanda alam sebagai bala (musibah), ada penolaknya. Bagi umat Islam, dengan solat gerhana. Ini juga sebagai upaya mendekatkan diri kepala Allah,” ujarnya.
Menurut Kyiai Bendo, dari sudut pandang Islam di dalam Alquran bahwa Allah tidak akan mengazab suatu kaum selama ada Rasulullah ada di mereka. “Sedangkan setelah Rasulullah wafat, kehadiran solawat dan memohon ampun menjadi penolak bala,” tegasnya.
Anggota DPD utusan Jawa Barat, Eni Sumarni mengatakan fenomena alam dua kali gerhana di bulan suci Ramadan ini terdapat ritual budaya ini yakni ‘kelah’ atau tolak bala. Malapetaka tersebut, bisa terjadi pada negara atau masyarakat, tapi juga bisa pula terjadi bagi secara individu. Dengan demikian, ritual budaya ini upaya kelah atau tolak bala agar tidak terjadi pada alam.
“Dalam kalender Sunda, fenomena dua kali gerhana di bulan suci ini menjadi isyarat ada bala. Tetapi di sana juga disebutkan ada kelah atau tolak bala,” paparnya.
Malapetaka tersebut, lanjut Eni, bisa terjadi di empat unsur alam, angin, api, air dan tanah. Untuk itulah, menanggapi kejadian alam dua kali gerhana di bulan Ramadan dilaksanakan ritual budaya.
“Di saat bulan suci Ramadan ini, kita melakukan ritual. Apalagi ini sudah masuk sepuluh hari terakhir yakni adanya malam lailatul qadar,” ujar Eni.
Seri Ritual Pengetahuan Cerdas Berbudaya adalah yang merupakan kegiatan untuk memberikan edukasi dan gambaran tentang pentingnya sistem penanggalan kalender tradisional dalam peradaban manusia, serta mendapatkan masukan bagi penajaman dan penyempurnaan substansi nilai-nilai warisan leluhur di bumi Nusantara.