Oleh Robby Maulana Zulkarnaen
(Budayawan Sunda/Akademisi)
DALAM kearifan budaya Sunda, terang adalah makna utama. Kata “Sunda” sendiri dalam beberapa tafsir leluhur bermakna cahaya, pencerahan, atau kesucian hati. Maka siapa pun yang membawa nama Sunda, terlebih di hadapan publik, semestinya turut membawa sinar yang mencerdaskan, bukan bayang-bayang yang membingungkan.
Namun belakangan ini, kami sebagian masyarakat yang tumbuh dalam nilai-nilai budaya Sunda merasa terusik oleh simbolisme yang dibawa oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Salah satunya adalah ritual penghormatan pada sebuah kereta kosong kereta kencana buatan sendiri yang disebut Ki Jaga Raksa, dirancang bukan dari warisan budaya Sunda, melainkan dibuat oleh perajin dari Solo atas pesanan pribadi Dedi Mulyadi ketika masih menjabat sebagai Bupati Purwakarta pada tahun 2013 (Merdeka.com).
Kereta itu kemudian disakralkan dengan berbagai ritual: sungkeuman, penyambutan adat, dan iring-iringan penuh takzim. Semua itu dilakukan tanpa dasar historis maupun nilai filosofis yang berasal dari tradisi Sunda itu sendiri. Ini tentu berbeda dengan Prosesi Kuda Kosong di Cianjur, yang memiliki akar kuat dalam sejarah dan spiritualitas masyarakat agraris Sunda.
Menurut penelusuran sejarah, Kuda Kosong Hadiah dari Mataram: Tradisi ini bermula dari hadiah seekor kuda yang diberikan oleh Sunan Amangkurat II dari Mataram kepada Dalem Aria Kidul, utusan dari Cianjur yang kemudian menjadi inspirasi sebagai simbol diplomasi yang indah antara Mataram dan Cianjur.
Sebagian masyarakat Cianjur juga meyakini Eyang Suryakencana, sosok setengah manusia setengah jin, menunggangi kuda tersebut dalam arak-arakan
Prosesi ini diwariskan secara turun-temurun dan dihayati sebagai bagian dari nilai-nilai spiritual di Cianjur.
Berbeda dengan itu, kereta buatan sendiri yang kemudian disakralkan dan diperlakukan seolah pusaka sakral tanpa akar sejarah, justru mengingatkan pada kisah klasik dalam sejarah agama: ketika pengikut Nabi Musa, yang kehilangan arah, lalu menciptakan patung anak sapi dari emas dan menyembahnya. Sebuah simbol kosong yang justru menjadi pusat kekeliruan.
BACA JUGA ::Fenomena Dua Kali Gerhana di Kalender Sunda, Budayawan Lakukan Ritual Tolak Bala
Ironi ini semakin terasa ketika simbol kursi kosong berhias melati dan bernuansa hijau yang dalam budaya visual kita sangat lekat dengan representasi Ratu Kidul dipertontonkan dalam ruang publik.
Dedi Mulyadi bahkan dalam beberapa kesempatan diketahui menggelar pertunjukan seni yang secara eksplisit menampilkan penari dengan busana khas Nyi Roro Kidul, lengkap dengan nuansa mistis dan penghormatan simbolik.
Ketika simbol tersebut kemudian diklaim sebagai bentuk penghormatan kepada almarhumah ibunda, muncul pertanyaan sederhana: jika itu untuk sang ibu, mengapa tak disertakan foto atau simbol personal lain yang bisa menegaskan makna tersebut? Tanpa kejelasan ini, simbol-simbol itu justru menyisakan kesan spiritual yang samar, bahkan cenderung kabur.
Kami tidak sedang membenci, apalagi mencela. Tentu sah-sah saja bila Dedi Mulyadi mengagumi atau menjadikan sosok spiritual tertentu sebagai bagian dari keyakinan pribadinya. Namun ketika hal-hal tersebut dipertontonkan secara terbuka di ruang publik, terlebih dalam kapasitas sebagai Gubernur, maka hal itu tak bisa diabaikan sebagai sekadar ekspresi personal. Ia akan dianggap sebagai bentuk syiar sosial—sebuah pesan diam-diam kepada masyarakat yang menyaksikannya.
Seorang pemimpin, apalagi di tanah Sunda, bukan hanya pelaksana kebijakan, melainkan juga simbol moral dan role model. Apa yang ia tampilkan akan ditiru, apa yang ia suarakan akan ditelan sebagai kebenaran, dan apa yang ia simbolkan akan menjadi arah baru dalam nalar publik.
Maka penting bagi setiap pemimpin untuk menampilkan terang, bukan keremangan. Mewarisi, bukan menciptakan sesuka hati. Menuntun, bukan membingungkan. Sebab Sunda adalah cahaya—dan cahaya sejatinya tidak boleh tertutup, apalagi oleh kereta kencana rancangan sendiri.