KATATIVI.COM: Wakil Ketua DPRD Jawa Barat Ono Surono menyebut bahwa pembangunan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila seharusnya melibatkan kolaborasi antara berbagai pihak, yakni pemerintah, masyarakat, akademisi, hingga tokoh agama. Namun, kenyataannya, kolaborasi ini seringkali terabaikan. Demikian disampaikan Ono menyusul penghapusan program hibah oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi tanpa melibatkan pihak lain, termasuk DPRD Jabar.
Menurut dia, kolaborasi dalam pembangunan bukanlah sekadar jargon politik. Tetapi harus tercermin dalam kebijakan yang mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, prinsip kolaborasi yang seharusnya menjadi dasar dalam perencanaan pembangunan di Jawa Barat, dinilai masih jauh dari harapan.
Ono menyebut beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan kolaborasi pembangunan. Aspek teknokratis, partisipatif, politis, serta pendekatan top-down-bottom-up.
BACA JUGA:Dukung Pengemudi, inDrive Resmikan Driver Lounge di Bandung
Aspek teknokratis, misalnya, harus didasari oleh kajian ilmiah dari perguruan tinggi. Partisipatif berarti masyarakat menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Aspek politis mengakomodasi visi misi kepala daerah dan DPRD, sedangkan pendekatan top-down-bottom-up mendorong adanya komunikasi dua arah antara pemerintah pusat dan daerah.
Implementasi Kolaborasi
Namun, implementasi kolaborasi ini belum tampak nyata, salah satunya dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat. Beberapa program, seperti hibah untuk pondok pesantren (ponpes), bantuan untuk organisasi kemasyarakatan, serta usulan dari kabupaten/kota, justru dihapus tanpa melibatkan pembahasan yang melibatkan masyarakat atau DPRD.
Keputusan ini memicu reaksi keras dari masyarakat dan sejumlah fraksi di DPRD. Mereka menilai penghapusan program-program tersebut tidak hanya mengabaikan aspirasi publik, tetapi juga mencederai semangat kolaborasi dan prinsip musyawarah yang seharusnya menjadi dasar pembangunan.
“Saya tekankan pentingnya verifikasi dalam hal hibah ponpes. Kalau ada pondok pesantren yang diduga memperoleh anggaran besar, hal itu perlu dipastikan. Anggaran tidak bisa dicoret begitu saja tanpa pembahasan dengan DPRD atau pihak terkait,” tegas Ono. Meskipun hibah tersebut dipengaruhi faktor politik, menurutnya, selama dilaksanakan dengan transparansi, hal itu masih sah-sah saja.
Ono juga berharap agar pimpinan segera merespons kegelisahan masyarakat dan DPRD. Kebijakan pembangunan harus dirumuskan lebih adil dan menyeluruh, dengan melibatkan berbagai pihak dalam setiap keputusan.
Semangat kolaborasi yang menjadi inti dari nilai-nilai Pancasila, bahkan kearifan lokal Sunda seperti Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh harus bisa terwujud dalam setiap kebijakan pembangunan. Dengan begitu, pembangunan di Jawa Barat bisa lebih merata dan benar-benar menjawab kebutuhan serta kesejahteraan masyarakat.
(**)